Bilik Doa
ORANG-orang lalu-lalang sesukanya. Hilir-mudik nyaris sulit ditandai. Beragam pikiran yang menyesakkan benak masing-masing dipastikan menentukan ke arah mana orang itu akan bertuju. Saat-saat matahari persis tegak lurus di atas kepala, suasana terik pun terasa berdenyar sampai di dalam kawasan mal yang selalu ramai dikunjungi. Saat-saat seperti itulah puluhan orang mulai menyesaki sebuah ruang jauh di sudut yang sangat terpencil. Mungkin tepatnya hanya sebuah bilik kecil berukuran 2x2 meter yang sudah terbiasa disebut musala.
Pada jam-jam salat, memang bilik kecil itu akan terasa sesak karena hanya bisa menampung tiga atau empat orang jemaah untuk melaksanakan ibadah salat. Ruangan bagi jemaah laki-laki dan perempuan hanya dipisahkan sebidang tabir berwarna hijau. Tapi, jemaah laki-laki tak mudah untuk membuang pandang ke ruangan salat bagi jemaah perempuan karena tabir itu dibuat agak tinggi. Bila lampu menyala terang, yang tampak dari sebelahnya hanyalah bayangan sosok orang yang salat atau duduk bahkan tak jarang pula ada yang berbaring melepas rasa lelah.
Bisa dimafhumi bila sebagian besar pelanggan musala kecil itu sudah saling kenal. Sebab merekalah para penjaga toko di mal berlantai empat itu. Ihwal usia, memang rata-rata masih anak muda. Tapi ada juga sebagian orang-orang tua yang kebetulan pada jam salat tiba sedang berada di pusat perbelanjaan terbesar di kota itu.
Aswar, budak Melayu yang hampir sepuluh tahun terakhir menjadi penjaga toko sepatu di mal itu memang terbilang seorang jemaah yang tak pernah lalai mendatangi musala. Usianya sudah mendekati 35 tahun. Soal paras dan penampilan, semestinya tak perlu diragukan. Orangnya gagah lagi ramah pula. Rambutnya yang agak ikal dengan potongan pendek mengingatkan orang pada sosok Barack Obama. Apalagi kulitnya memang agak gelap pula. Bawaan cekingnya pun tak banyak beda.
Hampir tak ada seorang pun di komunitas mal itu yang mencibir bila nama Aswar diceritakan. Mereka bersepakat memanggil Aswar sebagai ‘Pak Ustadz’ karena kealimannya. Bahkan, di waktu-waktu salat tertentu –terutama magrib- Ustadz Aswar didaulat menjadi imam walaupun jemaahnya hanya dua orang saja karena ruangan musala tak mungkin menampungnya lebih banyak lagi.
* * *
BERTAHUN-tahun Aswar melakukan ritual keagamaan di musala kecil itu. Ia tak pernah menampakkan kemalasannya sedikit pun. Melakukan salat baginya sebuah kewajiban yang tak boleh ditawar-tawar lagi. Ia begitu tunak beribadah. Usai salat, dipastikan ia tak akan pernah lupa berzikir. Bertasbih dan tahmid yang membuat lidah dan bibirnya selalu basah. Lafaz ayat-ayat Al Quran tak akan pernah luput dari mulutnya yang terlihat berkomat-kamit karena suaranya memang tak sampai terpancar keluar.
Saat-saat pengguna musala itu agak lengang –biasanya pada waktu salat Asar di petang hari- Aswar biasanya agak lama duduk bersimpuh sambil menengadahkan kedua tangan untuk mengantarkan doa pada Allah Maha Pencipta. Ia tak begitu peduli, apakah doanya didengar atau tidak. Tapi ia punya keyakinan yang begitu kuat bahwa Allah pasti mendengar doa semua orang. Dan hanya doa orang-orang yang khusyuklah yang pasti dikabulkan.
Berselang enam bulan terakhir, Aswar kian tekun berdoa. Sering lelaki yang berjambang tipis itu sampai lebih satu jam duduk bersimpuh atau bersila sambil menampungkan doa. Tentu saja, tak sahabatnya yang peduli soal itu karena hampir semua orang disibukkan oleh urusan dan masalahnya sendiri-sendiri.
Tanpa disadari, ternyata selama ini bukan hanya Aswar yang melakukan ritual ketekunan begitu. Di bilik sebelahnya, khusus tempat jemaah perempuan, ada pula di antaranya yang melakukan hal bersamaan. Bedanya, perempuan yang selalu berdoa dengan khusyuk itu sampai terisak-isak dan menitikkan airmata. Kadangkala suara isak tangis itu sempat juga hingga di telinga Aswar. Tapi, peduli apa Aswar soal nasib orang lain yang sedang bertarung menghadapi persoalan hidupnya. Sebab, Aswar merasa persoalan dirinya saja nyaris tak mampu terselesaikan sebagaimana yang diharapkannya.
“War, semakin lama berdoa tampaknya..” tegur Engku Said, seorang tua pemilik salah satu toko di kawasan mal saat melihat Aswar baru saja menyelesaikan doanya.
Aswar tersenyum ramah, sambil mengulurkan tangan guna bersalaman dengan Engku Said.
“Beginilah hidup, Engku. Sudahlah di dunia tak berpunya. Bekal untuk akhirat pun tak ada pula. Malang betullah nasib hamba serupa itu” sahut Aswar sarat dengan falsafah keagamaannya.
“Betullah engkau, War. Tak banyak anak muda seumurmu yang mau berpikir semacam itu. Tapi, bual-bual sedikit, ihwal jadi imam bagi orang banyak, kau tak perlu diragukan lagi. Saya heran, jadi imam untuk seorang perempuan saja, tampaknya belum ada tanda-tandanya. Apa pasal?” Engku Said mulai mengalihkan pembicaraan pada perihal yang ditakuti Aswar selama ini.
Aswar memang merasa mendapat pukulan telak. Lama ia merenung dan berpikir untuk memilih jawaban yang paling tepat. Ia tak hendak menyinggung perasaan Engku Said yang amat dihormatinya selama ini.
“Boleh jadi, jodoh saya belum bersahut, Engku.”
“Atau, permohohanmu berat sangat sehingga Allah juga berat mengabulkannya.” Engku Said tertawa terbahak membuat wajah Aswar bersemu merah.
“Saya percaya, jodoh itu akan datang jua pada akhirnya..”
“Itu pendapat orang-orang zaman dulu. Kalau sekarang, manalah kijang datang tiba-tiba ke tungku pemanggang bila tak diburu lebih dulu.”
“Ada, Engku.” Potong Aswar dengan cepat.
Bola mata Engku Said terbelalak. Maksudnya mencibirkan Aswar yang berselera sangat kampungan itu.
“Kalau pun ada kijang macam itu, itulah kijang bodoh!” Suara Engku Said agak keras sambil tertawa terbahak-bahak kembali.
Perbincangan Aswar dengan Engku Said petang itu berakhir begitu tanpa menghasilkan apa-apa. Tapi, pertanyaan Engku memang membuatnya tak tidur bermalam-malam. Ada apa dengan jodoh yang diimpikannya selama ini. Padahal sudah dihadapkan pada Allah lewat doa-doa beningnya. Lebih-lebih saat berdoa usai salat tahajud di bilik kost-nya di tengah malam buta.
Aswar tak pernah menyerah. Ia terus saja menjalankan ritual doa usai salat setiap waktu. Keyakinannya tak pernah berkurang akan pertolongan Allah yang akan mengutus seorang perempuan.
* * *
SUATU petang, sedang asyik berdoa di musala kecil itu, Aswar secara tiba-tiba mendengar isak-tangis dari ruang sebelahnya yang dibatasi kain tabir. Isak tangis itu kian lama kian keras. Semula Aswar mencoba tak peduli. Tapi begitu isak-tangis itu terhenti tiba-tiba diikuti suara tubuh yang jatuh terhempas, Aswar jadi panik. Ia menutup doanya tanpa kehendak hatinya. Merasa ada sesuatu yang tak beres, Aswar langsung menerobos tabir kain itu.
Ia menemukan sesosok tubuh perempuan yang masih terbalut mukena telentang dan tak tak sadarkan diri. Napasnya turun-naik perlahan. Aswar mencoba mengenali sosok perempuan yang sudah pasti salah seorang penjaga toko di mal itu. Takut dituduh macam-macam, Aswar langsung berteriak minta tolong pada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Dalam waktu sekejap, belasan orang di mal itu berhimpun. Mereka serentak ingin menyelamatkan nyawa perempuan yang diketahui kemudian bernama Nisah. Tak begitu jelas dari mana perempuan molek itu berasal. Tapi, Aswar merasa lega karena perempuan yang amat membutuhkan pertolongan itu berhasil dibawa ke rumah sakit.
Aswar tiba-tiba merasa bertanggungjawab penuh atas diri Nisah. Apalagi, setelah ditanya ke sana-kemari, Nisah memang hidup merantau di tanah Melayu, tanah kelahiran Aswar sendiri. Begitu pula saat pihak rumah sakit menanyakan siapa yang menjamin biaya perawatan Nisah, Aswar langsung menunjuk dirinya.
Tiga hari berada di rumah sakit itu, semakin memperdekat diri Aswar dengan Nisah. Perkenalan keduanya berlangsung begitu cepat dan penuh keharuan. Bola mata Nisah berkaca-kaca ketika mengenang bagaimana kemuliaan Aswar telah menjaminkan dirinya agar Nisah dapat dirawat dan diobati.
“Apa yang membuat Bang Aswar berkorban buat saya?” tanya Nisah penuh ingin tahu.
“Saya hanya ingin membantu orang yang berada dalam kesusahan. Tak lebih dari itu,” jawab Aswar datar.
“Saya tak tahu harus mengucapkan apa. Segala bantuan dan pengorbanan Bang Aswar tak akan pernah kulupa..”
Hari-hari pertemuan Aswar dan Nisah di rumah sakit itu, pelan-pelan menyibakkan tabir hati keduanya. Nisah bertutur berulang-ulang, sudah enam bulan terakhir ia selalu mendatangi musala kecil di mal itu. Selain itu, untuk melaksanakan salat fardhu dan sunnah, perempuan perantau dari Sumatera Selatan itu juga tak lupa berdoa. Usianya yang terpaut enam tahun lebih muda dari Aswar telah menempatkan dirinya pada kedudukan yang pelik.
Emaknya yang sudah berusia renta di kampung halamannya selalu menanyakan ihwal waktu pernikahannya. Bukannya tak ada lelaki yang mencoba mendekatinya. Tapi, setelah berkenalan lebih dekat, Nisah memutuskan mundur karena ada hal yang kurang mengena di hatinya. Ia punya mimpi satu ketika kelak menemukan jodoh yang pas sebagaimana yang diharapkan. Menikah bagi Nisah cukuplah sekali seumur hidup dan buah pernikahan itu dipersembahkannya buat emaknya. Hanya buat emak karena ia sudah tak punya ayah lagi. Baginya, hidup sebagai anak semata wayang, memang tak mudah karena terpikul beban tanggungjawab yang lebih besar.
“Apa yang membuatmu berlama-lama di musala itu untuk berdoa Nisah?” tanya Aswar berselang bebeberapa bulan kemudian pada sebuah pertemuan mereka.
“Saya juga sering mengamati Bang Aswar juga selalu berdoa di ruang yang sama. Apa pula yang abang doakan?”
Lama keduanya terdiam. Tapi, Nisah yang kemudian mulai memecah kebekuan itu.
“Bang Aswar, terus terang, saya hanya meminta pada Allah agar diberikan jodoh yang terbaik di dalam hidup saya.”
“Sungguhkah itu, Nisah? Abang juga punya doa yang sama. Abang khawatir bila tak menemukan jodoh sebagaimana yang abang impikan.”
Memang, semenjak Aswar dan Nisah kian sering bertemu dan mengutarakan isi hati masing-masing, jadilah keduanya pasangan yang serasi. Walaupun, di antara mereka tak pernah melafalkan kata-kata ‘cinta’ atau sejenisnya. Hati keduanya lebih keras berbicara dibanding ucapan lidah.
* * *
“AKU terima nikah Nisah binti Kadri dengan mahar berupa sebentuk cincin dan seperangkat alat salat,” sahutan Aswar dalam prosesi akad-nikah itu begitu meyakinkan. Para saksi dan puluhan hadirin telah mengukuhkan dirinya dengan Nisah sebagai pasangan suami-istri yang berbahagia.
Pertemuan jodoh Aswar dan Nisah memang menyebar begitu cepat di kawasan mal itu. Orang-orang yang berbulan-bulan sebelumnya selalu menyaksikan pemandangan yang unik saat Aswar dan Nisah duduk berlama-lama menadahkan tangan usai melaksanakan salat wajib di musala kecil, tak akan pernah menduga bila keduanya berjodoh begitu cepat.
Sejak itulah, musalah kecil itu menjadi tumpuan pasangan anak muda lajangan untuk mendapatkan jodoh. Bisa dimaklumi bila ruangan musala yang kecil itu digelar pula sebagai ‘bilik doa’. Sebuah bilik kecil yang memberikan kekhusyukan bagi siapa saja untuk memohon doa. Mendapatkan sesuatu yang didambakan dengan mengharapkan uluran tangan Allah untuk mengabulkannya. Pasangan Aswar-Nisah menjadi bukti nyata atas segalanya.
***
Pku-Yogya, Maret 2008
0 comments »
Sesini duyur!
Terimakasih atas komentar nya.. terimakasih sudah mau mengunjungi blog saya,salam kenal semuanya ^__^